Orang Baduy tinggal di kawasan perbukitan gunung Kendeng, Banten. Secara turun-temurun, mereka menjunjung tradisi hidup selaras dengan alam. Memberikan pencerahan jiwa bagi tamu yang datang.
Kampung Baduy merupakan perkampungan di lereng bukit yang tertata secara asri nan damai di tepi sungai berarus deras dengan airnya yang jernih. Pagi hari menjadi awal hampir semua masyarakat Baduy memulai aktivitas. Kaum pria berladang, wanita menenun kain baik untuk dipakai sendiri ataupun dijual sebagai cendramata, sedangkan anak-anak bermain ceria.
Hidup dan belajar bersama alam
Di Baduy, tidak pernah didirikan sekolah formal seperti pada umumnya karena secara adat, penghuni kampung Baduy dididik dari alam dan orangtua mereka sendiri. Karenanya, suku etnis Baduy tidak mengenal aktivitas baca-tulis. Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Sunda dengan dialek Sunda Kulon.
Sebenarnya, setiap orang yang mengerti bahasa Sunda tidak mengalami kesulitan berkomunikasi dengan mereka. Sebab, perbedaannya hanya terletak pada intonasi pengucapan. Sementara bahasa Indonesia biasanya hanya dimengerti oleh kaum muda Baduy.
Kampung Baduy memberikan kedamaian dan ketenangan jiwa bagi penghuninya. Mereka tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan bermotor, radio, televisi, lampu penerangan, dan segala sarana dari sumber energi listrik yang dihasilkan dari kebudayaan modern. Untuk mengolah padi menjadi beras, misalnya, orang Baduy tidak menggunakan mesin, melainkan penumbuk lisung dan alu yang biasanya dikerjakan oleh kaum wanita.
Membuat gula aren juga salah satu mata pencaharian mereka. Gula aren atau enau menjadi hasil pertanian yang banyak diminati masyarakat luar Baduy karena rasa dan aromanya sudah tersohor, salah satu sebagai bahan pembuat minuman kebugaran tubuh.
Sementara itu, orang Baduy hanya mengenal dua warna pakaian, yaitu hitam atau warna gelap (biru tua) untuk orang Baduy luar dan putih untuk Baduy dalam. Ikat kepala bernama Udeng selalu dikenakan kaum laki-laki, baik anak-anak maupun dewasa. Sementara, kaum wanita Baduy selalu mengenakan pakaian bermodel kebaya dan kain.
Kampung Baduy memberikan kedamaian dan ketenangan jiwa bagi penghuninya. Mereka tidak diperbolehkan menggunakan kendaraan bermotor, radio, televisi, lampu penerangan, dan segala sarana dari sumber energi listrik yang dihasilkan dari kebudayaan modern. Untuk mengolah padi menjadi beras, misalnya, orang Baduy tidak menggunakan mesin, melainkan penumbuk lisung dan alu yang biasanya dikerjakan oleh kaum wanita.
Membuat gula aren juga salah satu mata pencaharian mereka. Gula aren atau enau menjadi hasil pertanian yang banyak diminati masyarakat luar Baduy karena rasa dan aromanya sudah tersohor, salah satu sebagai bahan pembuat minuman kebugaran tubuh.
Sementara itu, orang Baduy hanya mengenal dua warna pakaian, yaitu hitam atau warna gelap (biru tua) untuk orang Baduy luar dan putih untuk Baduy dalam. Ikat kepala bernama Udeng selalu dikenakan kaum laki-laki, baik anak-anak maupun dewasa. Sementara, kaum wanita Baduy selalu mengenakan pakaian bermodel kebaya dan kain.
Destinasi wisata
Tempat-tempat menarik di Baduy, antara lain rumah adat orang Baduy yang dibuat heterogen. Tidak ada seseorang dengan status sosial kaya ataupun miskin, karena mereka membuat rumah secara seragam; dari bambu, kayu dan beratap ijuk atau daun sejenis pandan.
Lumbung padi juga memiliki daya tarik tersendiri karena memiliki bentuk khas sebagai tempat penyimpanan hasil panen. Padi yang disimpan di dalamnya bisa tahan bertahun-tahun sebagai cadangan pesta atau musim paceklik.
Keindahan sungai Ciujung yang mengaliri sepanjang perkampungan Baduy menjadi daya tarik lainnya. Air belum tercemar, arus derasnya juga banyak diminati pengunjung untuk menyempatkan berenang dan mandi. Apalagi, kesempatan emas ini tidak mungkin didapat di sungai-sungai perkotaan.